Search here

22 Des 2017

Sejarah Walisongo dalam Perjuangan Dakwah Islam di Nusantara

Asal Usul Wali Songo di Nusantara

Asal Usul Wali Songo di Nusantara: Abah Opar

Pembahasan sejarah Wali Songo mulai dari  asal-usul Wali Songo dalam perjuangan dawah Islam di Nusantara hingga kontroversi  sejarah terkait asal usul Wali Songo, penting untuk kita tahu. Siapa saja nama-nama Walisongo atau Sunan yang sebenarnya berdasarkan data dan sumber sejarah yang dapat dipercaya. Ternyata, ada kontroversi terkait asal usul Walisongo di Indonesia yang dikisahkan berasal dari China. Benarkah? Mari kita telusuri lebih dalam tentang Wali Songo di sini.

Nama-nama Walisongo atau Sunan yang biasa kita kenal dalam keseharian kita merupakan nama sebutan atau julukan. Nama Wali sendiri memiliki arti utusan atau wakil yang dalam Islam dikenal dengan kata waliyullah atau waliallah. Yang memiliki rarti beriman, pelindung, bertakwa dan dapat dipercaya. Sedangkan Songo yang berarti sembilan dalam bahasa Jawa.
Para wali-wali ini mengabdikan dirinya di jalan Allah SWT untuk mengajak orang lain beriman kepada Allah. Nama-nama para Walisongo tersebut tercantumkan dalam sejarah persebaraan agama Islam di Nusantara. Berikut Nama-nama Sunan dalam sejarah Walisongo beserta peninggalan dan Sejarahnya.

Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, Majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:

Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.

Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).

Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.

Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M), terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).

Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.

Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).

Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.

Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).

Mari kita telusuri lebih dalam tentang Wali Songo ini
Nama-nama Sunan Walisongo berikut ini adalah daftar nama-nama sunan walisongo beserta asal daerahnya: Maulana Malik Ibrahim, sunan walisongo yang paling lebih dahulu ada. Beliau dikabarkan berasal dari Persia dan kemudian menetap dan berkedudukan di Gresik, jawa Timur.
Sunan Ampel (Ngampel), sunan walisongo yang memiliki nama asli Raden Rahmat dan berkedudukan di Ngampel, dekat Surabaya. Sunan Bonang, sunan walisongo yang semula bernama Makdum Ibrahim ini adalah anak kandung dari Sunan Ampel. Ia berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Sunan Drajat, sunan walisongo yang awalnya bernama Masih Munat ini adalah adik dari Sunan Bonang. Ia berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu, Surabaya. Sunan Giri, sunan yang semula bernama Raden Paku ini adalah asli murid dari Sunan Ampel. Ia berkedudukan di bukit Giri, dekat Gresik. Sunan Muria, sunan yang berkedudukan di sungai Muria, Kudus. Sunan Kudus, sunan yang semula bernama Udung ini berkedudukan di Kudus.
Sunan Kalijaga, sunan yang bernama asli Joko Said ini berkedudukan di Kadilangu, Demak. Sunan Gunung Jati, atau yang bernama asli Syarif Hidayatullah merupakan satu-satunya anggota wali songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Ia lahir sekitar tahun 1450 M dan wafat pada usia 120 tahun atau sekitar tahun 1520


Asal Usul Wali Songo di Nusantara: Abah Opar

Kalau kita cermati lebih dalam maka Sejarah masuknya Islam di Indonesia sungguh penuh dengan carut-marut karena sejak dahulu bangsa Indonesia memang lemah dalam sistem dokumentasi. Akibatnya, sejarah Indonesia sebelum datangnya bangsa Belanda selalu ada beberapa versi karena selalu ada distorsi dari pelaku sejarah maupun dari masyarakat yang meneruskan cerita tersebut kepada generasi berikutnya.

Sungguh suatu hal sangat memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi pada abad ke-7 Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam [581 M], wafat [632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644 M], Usman Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah masuknya Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo juga penuh dengan carut-marut.

Kisah-kisah individu walisongo penuh dengan nuansa mistik, bahkan tidak hanya nuansa mistik yang menyelimuti kisah walisongo tetapi juga penuh dengan berita-berita bohong. Mistik dan bohong adalah dua hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi mengapa keduanya justru menjadi warna utama kisah para wali yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Indonesia?

Sebagai umat Islam tentu saja kita harus mengembangkan metode berpikir dialektis untuk mengambil hikmah yang sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya berdasarkan sumber yang benar.

Berikut adalah dokumen-dokumen yang dipastikan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo;

“Het book van Bonang”, buku ini ada di perpustakaan Leiden-Belanda, yang menjadi salah satu dokumen langka dari Zaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam. (Baca: Diskusi Para Wali Songo Dalam Buku ‘Het Book Van Bonang’ )
“Suluk Linglung”, buku karya Sunan Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku ‘Suluk Linglung’ karya Imam Anom yang banyak beredar.
“Kropak Farara”, buku yang amat penting tentang walisongo ini diterjemahkan oleh Prof. Dr. GJW Drewes ke dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia. (Baca: Wejangan Agama Dari Era Sekitar Wali Jawa)
“Kitab Walisana”, kitab yang disusun oleh Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa peristiwa penting dalam perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.

Kita masih banyak menemukan Istilah walisongo memang masih kontroversial dan tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan mana yang benar. Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang [A. Wahyudi dan Abu Khalid; Widji Saksono,1995].

Jika kita cermati dari berbagai data dan sumber sejarah bahwa anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa Arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang Jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut kiblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.

Kemudian jikalau kita lihat dalam kitab Kanzul Ulum karya Ibnu Bathuthah yang masih tersimpan di perpustakaan istana Kasultanan Ottoman di Istanbul, pembentukan Walisongo ternyata pertama kali dilakukan oleh Sultan Turki, Muhammad I yang menerima laporan dari para saudagar Gujarat {India} bahwa di pulau Jawa jumlah pemeluk agama Islam masih sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sultan Muhammad I membentuk sebuah tim yang beranggotakan 9 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli irigasi dan tata pemerintahan;
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkan ahli pengobatan;
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, berasal dari Mesir;
4. Maulan Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko;
5. Maulana Malik Isro’il, berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan;
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Iran, ahli pengobatan;
7. Maulana Hasanuddin, dari Palestina;
8. Maulana Aliyuddin, dari Palestina;
9. Syeikh Subakir, dari Iran, ahli kemasyarakatan;

Data di atas merupakan nama-nama walisongo angkatan pertama yang datang ke pulau Jawa pada saat yang tepat, karena Majapahit sendiri pada saat itu sedang dilanda perang saudara, yaitu perang Paregreg, sehingga kedatangan mereka tidak begitu mendapat perhatian. Perlu diketahui bahwa tim pertama tersebut bukanlah para ahli agama atau bisa dikatakan bahwa mereka belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Sultan Muhammad I tidak pernah menyebut tim tersebut dengan nama walisongo. Barangkali istilah walisongo berasal dari masyarakat atau dari tim itu sendiri setelah bekerja beberapa puluh tahun. Adapula kemungkinan bahwa istilah walisongo muncul setelah wali pribumi dari kalangan bangsawan yang masuk ke dalam tim.

Karena Maulana Malik Ibrahim sebagai ketua walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama Ahmad Ali Rahmatullah dari Champa yang juga keponakan Maulana Ishak. Beliau adalah anak Ibrahim Asmarakandi yang menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil Raden Rahmat adalah keputusan yang sangat tepat, karena Raden Rahmat dianggap mempunyai kelebihan [ilmu agama yang lebih dalam] dan putra Mahkota kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan bibi Raden Rahmat. Oleh karena itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo berharap agar Prabu Kerta Wijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak menghalangi penyebarah Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu Kerta Wijaya masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam Sinom pupuh IV bait 9-11 dan bait 12-14.

Karena masih kerabat istana, maka Raden Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja Majapahit yang kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Selanjutnya Raden Rahmat dikenal dengan nama Sunan Ampel. Menurut Widji Saksono [1995:23-24], kedatangan Raden Rahmat di pulau Jawa disertai dua pemuda bangsawan Champha yaitu Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah serta 40 orang pengawal. Selanjutnya Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah bermukim di Gresik dan dikenal dengan Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Dengan kedatangan Raden Rahmat, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kedua.

Pada tahun 1435 ada dua orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan Maulana Muhammad Ali Akbar. Dengan meninggalnya dua orang itu, dewan mengajukan permohonan kepada Sultan Turki [tahun 1421 Sultan Muhammad I digantikan oleh sultan Murad II, yang memimpin sampai tahun 1451 {Barraclough, 1982:48}] untuk dikirimkan dua orang pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam. Permohonan tersebut dikabulkan dan pada tahun 1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :

1.     Sayyid Ja`Far Shodiq, berasal dari Palestina, yang selanjutnya bermukin di Kudus dan dikenal dengan nama Sunan Kudus. Dalam buku Babad Demak karya Atmodarminto {2001, disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shodiq adalah satu-satunya anggota walisongo yang paling menguasai Ilmu Fiqih.

2.     Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina yang merupakan ahli strategi perang. Menurut buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon karya PS Sulendraningrat {tanpa tahun}, Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Pajajaran hasil perkawinan Rara Santang dan Sultan Syarif Abdullah dari Mesir. Selanjutnya Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon dan dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Dengan kedatangan wali muda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan ketiga. Nampak dari informasi di atas bahwa ada tiga wali muda yang tentu mempunyai kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan dengan angkatan sebelumnya.

Pada tahun 1462 dua orang anggota walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin. Sebelum itu ada dua orang anggota wali yang meninggalkan tanah Jawa, yaitu Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishak berdakwah di Pasai. (Baca: Islam Dan Kristen Dalam Jangka Jayabaya Syekh Bakir)

Dalam sidang walisongo di Ampeldento, diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk dalam dewan walisongo, yaitu:

1.     Raden Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang bermukim di desa Mbonang, Tuban. Selanjutnya dikenal dengan nama Sunan Mbonang. (Baca : Tafsir Sunan Bonang, Bukti Karya Intelektual Walisongo)
2.     Raden Qosim, putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan nama Sunan Drajat.
3.     Raden Paku, putra Maulana Ishaq yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama Sunan Giri.
4.     Raden Mas Said, putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan nama Sunan Kalijogo.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan keempat. Dalam dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada dua orang yang bersal dari angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka sudah bertugas di tanah Jawa selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana Ahmad Jumadil Qubro yang meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al Maghrobi [tidak diketahui tahun berapa wafatnya]. Dalam kitab walisana disebutkan bahwa pada saat Raden Fatah menghadapi Syekh Siti Jenar, Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh sentral, kuat dugaan bahwa beliau yang mengambil keputusan tentang masalah Syekh Siti Jenar.

Perlu diperhatikan bahwa mulai angkatan keempat ini banyak anggota walisongo yang merupakan putra bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab Sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisongo mulai terbelah antara kelompok futi`a dan aba`ah, barangkali pada saat itu pula muncul istilah Walisongo. Isi kitab walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II pun yang ditulis pada awal abad 16 banyak berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.

Dengan meninggalnya dua orang wali yang paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan sidang yang memutuskan memasukkan anggota baru dan mengganti ketua dewan yang sudah berusia lanjut. Ketua dewan yang dipih dalam siding tersebut adalah Sunan GIRI, sedangkan anggota dewan yang masuk adalah :

Raden Fatah, putra Raja Majapahit Brawijaya V yang merupakan Adipati Demak.
Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kelima.

Setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara, maka pada tahun 1478, dilakukan perombakan lagi dalam tubu dewan walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan Gunung Jati pun lengser karena usianya yang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati digantikan oleh Fathullah Khan yang memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua posisi yang kosong diisi oleh :

Raden Umar Said, putra Sunan Kalijogo yang lebih dikenal sebagai Sunan Muria.
Sunan Pandanaran, murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai Sunan Tembayat.

Menurut kitab walisana karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo. Barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.


Setelah masa walisongo angkatan keenam, masih banyak orang yang pernah mendapat gelar sebagai wali, namun kapan mereka itu diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada bukti dan keterangan yang dapat dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih banyak diragukan. Mereka itu misalnya  Syekh Siti Jenar, Sunan Geseng, sunan Ngudung, Sunan Padusan, Sunan Kalinyamat, Sunan Muryapodo, dan ada beberapa orang yang juga dianggap sebagai wali misalnya Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Pengging.


Ternyata ada kontroversi terkait asal-usul Walisongo di Indonesia yang dikisahkan berasal dari Cina ini awal mulanya adalah Profesor Slamet Mulyana yang menulis pernyataan tersebut pada 1968 dalam bukunya, "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara".

Namun, dilarang beredar karena dinilai dapat memicu perdebatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antaragama).

Menurut dia, Walisongo dibentuk oleh Sunan Ampel pada tahun 1474. Mereka terdiri dari sembilan orang wali; Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo-Toh A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu-Ja Tik Su, Sunan Muria, Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/ Tan Eng Hoat, dan Sunan Giri yang merupakan cucu dari Bong Swie Ho.

Diceritakan pula, Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada 1401 di Champa (Kamboja). Saat itu, banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Islam yang bermukim di sana. Dia tiba di Jawa pada 1443. Lalu, 36 tahun kemudian, yakni pada 1479, dia mendirikan Masjid Demak.

Sementara, kata Walisongo yang selama ini diartikan sembilan (sanga/songo) wali, dinilai masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain.

Ada yang berpendapat bahwa kata "sanga" (dilafalkan sebagai "songo" dalam Bahasa Jawa) berasal dari kata "tsana" dari bahasa Arab, yang berarti "mulia". Pendapat lainnya menyatakan, kata "sanga" berasal dari kata "sana" dalam bahasa Jawa yang berarti "tempat".

Dinyatakan pula, kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisongo, dipercaya berasal dari dialek Hokkian "Su" dan "Nan". "Su" merupakan kependekan dari kata "Suhu atau Saihu" yang berarti guru.

Disebut guru, karena para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. Sedangkan, "Nan" berarti "selatan", sebab para penganut aliran Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.

Belanda, yang sempat "berperang" dengan para wali itu sempat tidak mempercayai bahwa sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Kemudian, untuk memastikannya, pada 1928, Residen Poortman ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk menyelidikinya.

Poortman lalu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa. Dia menemukan naskah kuno berusia ratusan tahun sebanyak tiga pedati.

Lalu, arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan, yang menulis buku, "Tuanku Rao", yang juga kontroversial. Profesor Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini. 

Untuk kebenaran sejarah ini kita serahkan kepada para ahli sejarah yang amanah dan  jujur tidak untuk dipolitisi, demi pencerahan ilmu pengetahuan generasi bangsa Indonesia pada khususnya dan Umat MUSLIM pada umumnya serta mengisi sejarah peradaban Dunia yang dapat dipertanggung jawabkan.

Itu mungkin jawaban sementara dari Abah Opar Supranatural Pedagogic untuk sahabatku yang mempertanyakan akan sejarah Wali Songo. Sumber artikel, daftar pustaka terlampir. 


"Adapun referensi bacaan boleh juga kita baca update buku API SEJARAH  1 & 2 (Best Seller), Karya Prof. Ahmad Mansir Suryanegara di buku tersebut, banyak penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh sejarawan Belanda terkait dakwah Islam di Nusantara."


1. Sunan Gresik
Sunan Gresik merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah walisongo dasar perjuangan utama Sunan Gresik adalah menghilangkan sistem kasta yang berada pada kalangan masyarakat. Karena bahwasannya semua manusia itu sama di mata Allah SWT, yang membedakannya hanyalah amal ibadahnya saja.
Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Gresik: Maulana Malik Ibrahim.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Gresik: Gresik, Jawa Timur.
Peninggalan Sunan Gresik: Masjid Malik Ibrahim di Leran, Gresik, Jawa Timur.
Tahun Wafatnya Sunan Gresik: 1419 M
Makam Sunan Gresik: Desa Gapura Wetan, Gresik.
Sejarah Sunan Gresik: Menurut sejarah Walisongo beliau merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW ke 22. Ia mulai dakwah penyebaran agama Islam pertamanya di pulau Jawa pada akhir masa kerajaan Majapahit.
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14.
Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Beliau merangkul dan menolong rakyat jelata yang merupakan korban dari perang saudara akibat runtuhnya kerajaan Majapahit. Sunan Gresik menarik hati masyarakat pada saat itu dengan melakukan bercocok tanam dan berdagang.
Sehingga para masyarakat yang kesulitan sedang dalam kesulitan ekonomi, terbantu dan mulai secara perlahan ingin mempelajari agama Islam. Karena semakin banyaknya masyarakat yang ingin belajar agama Islam.
Kemudian Sunan Gresik mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur. Beliau mengajarkan tentang ilmu agama Islam hingga akhir hayatnya.

2. Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo falsafah ajaran yang terkenal yang diajarkan dari Sunan Ampel pada saat itu yaitu “Moh Limo“. Moh Limo sendiri memiliki arti Moh artinya tidak atau menolak, dan Limo memiliki arti lima.
Jadi isi pada falsafah ajaran tersebut mempunyai makna “Untuk menolak dan tidak melakukan lima hal. Kelima hal itu yaitu Moh Main artinya Tidak Berjudi, Moh Ngombe artinya Tidak Minum-minuman Alkohol, Moh Maling artinya Tidak Mencuri, Moh Madat artinya Tidak Menghisap Narkoba, Moh Madon artinya Tidak Berzina.
Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Ampel: Raden Rahmat.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Ampel: Surabaya.
Peninggalan Sunan Ampel: Masjid Ampel di Ampel Denta, Surabaya.
Tahun Wafatnya Sunan Ampel: 1481 M.
Makam Sunan Ampel: Di Sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sejarah Sunan Ampel: Menurut sejarah Sunan Ampel yang bernama asli Raden Rahmat merupakan anak dari pasangan Sunan Gresik dan Dewi Condro Wulan.
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra Maulana Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit.

Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, Disana Beliau mendirikan pondok pesantren untuk masyarakat yang ingin belajar dan mendalami tentang agama Islam dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya

3. Sunan Bonang

Sunan Bonang merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo, Sunan Bonang merupakan salah satu tokoh Walisongo yang dalam ajaran Sunan Bonang ia menyampaikan “Jangan bertanya, Jangan memuja nabi dan wali-wali, jangan mengaku Tuhan. jangan mengira tidak ada padahal ada, sebaiknya diam , jangan sampai di goncang kebingungan.

Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Bonang: Maulana Makdum Ibrahim.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Bonang: Tuban, Jawa Timur.
Peninggalan Sunan Bonang: Alat musik tradisional gamelan yang berisi bonang, bende dan kenong. Juga perkenalkan gapura yang berarsitektur tema islam.
Tahun Wafatnya Sunan Bonang: 1525 M.
Makam Sunan Bonang: Tuban, Jawa Timur.
Sejarah Sunan Bonang: Sunan Bonang yang bernama asli Maulana Makdum Ibrahim merupakan anak dari pasangan Sunan Ampel dan Dewi Condrowati. Setelah ayahnya Sunan Ampel wafat Sunan Bonang memutuskan untuk belajar agama di Malaka di wilayah Samudra Pasai.

Di sana Sunan Bonang menimba ilmu dari Sunan Giri yang mempunyai ilmu khusus dalam metodologi pengajaran agama Islam yang bisa menarik hati para masyarakat. Kemudian setelah selesai menimba ilmu di sana Beliau kembali lagi ke Tuban.

Sesampainya di Tuban Sunan Bonang mendirikan sebuah pondok pesantren di tanah kelahiran ibunya tersebut. Karena karakteristik masyarakat Tuan yang senang akan hiburan.

Maka dari itu Sunan Bonang pun mempunyai ide untuk membuat alat musik gamelan untuk menarik minat masyarakat Tuban untuk belajar agama Islam. Sehingga di saat Sunan Bonang mengadakan pertunjukan gamelan, di sela-selanya ia melakukan dakwah.

Sunan Bonang putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam.  Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang.

Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya.


4. Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam.

Sunan Drajat merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Di dalam sejarah Walisongo ajaran yang disampaikan Sunan Drajat ia sering menyampaikan tentang “Suluk Petuah” kepada murid-muridnya. Ada beberapa pesan-pesan yang terdapat di dalam suluk petuah tersebut untuk di tanamkan ke dalam diri manusia.

Beberapa kutipan yang ada di dalam suluk petuah tersebut adalah. Wenehono teken wong kang wuto artinya berilah tongkat pada orang buta. Wenehono mangan marang wong kan luwe artinya berilah makan kepada orang yang lapar.

Wenehono busono marang wong kang wudo artinya berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang. Wenehono ngiyup marang wong kang kudanan artinya berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan.

 Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Drajat: Raden Qosim
Daerah Penyebaran Islam Sunan Drajat: Desa Jelog, Pesisir Banjarwati, Lamongan.
Peninggalan Sunan Drajat: Gamelan singa mangkok.
Tahun Wafatnya Sunan Drajat: 1522 M.
Makam Sunan Drajat: Paciran, Lamongan.
Sejarah Sunan Drajat: Menurut sejarah Sunan Drajat merupakan saudara seibu dengan Sunan Bonang. Setelah ayahnya meninggal, Beliau belajar dan berguru tentang ilmu agama Islam dari Sunan Muria.

Kemudian Raden Qosim kembali lagi ke Desa Jelog, Pesisir Banjarwati, Lamongan. Sesampainya Sunan Drajat di Lamongan, Beliau mengajarkan apa yang telah di pelajarinya dari Sunan Muria kepada para Masyarakat.

Karena semakin hari muridnya semakin banyak, akhirnya Sunan Drajat memutuskan untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut terletak di daerah Daleman Duwur, Desa Drajat, Paciran Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.

5. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah walisongo Sunan Kalijaga merupakan salah satu walisongo yang menerapkan ajaran agama Islam secara dengan bertahap, dengan menanamkan nilai agama di dalam budaya dan ideologi masyarakat. Ia berkeyakinan, apabila agama Islam telah dipahami maka kebiasaan buruk secara sendirinya akan hilang.

 Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Kalijaga: Raden Said.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Kalijaga: Cirebon, Jawa Barat.
Peninggalan Sunan Kalijaga: Seni ukir, wayang, gamelan dan suluk.
Tahun Wafatnya Sunan: 1513 M.
Makam Sunan Kalijaga: Desa Kadilangu, Demak Bintara, Jawa Barat.
Sejarah Sunan Kalijaga: Sunan Kalijaga merupakan orang pribumi asli pulau Jawa yang lahir di Tuban, Jawa Timur. Sunan Kalijaga merupakan putra dari Arya Wilatikta yang merupakan tokoh pemberontak pimpinan Ronggolawe di zaman kerajaan Majapahit.

Nama julukan Kalijaga sendiri yang diberikan, menurut beberapa pendapat berasal dari nama sebuah dusun di Cirebon. Dusun itu bernama Kalijaga, dahulu kala memang menurut cerita sejarah Sunan Kalijaga memang sangat dekat dengan Sunan Gunung Jati.

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.


6. Sunan Kudus

Sunan Kudus merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo Sunan Kudus merupakan salah satu dari Wali Songo yang mewariskan budaya toleransi antara umat beragama. Salah satu yang ajarannya yaitu dengan menyembelih kerbau saat hari raya Idul Adha, untuk menghormati para umat Hindu di kudus.

 Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Kudus: Ja’far Shadiq.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Kudus: Kudus, jawa Tengah.
Peninggalan Sunan Kudus: Masjid Menara Kudus.
Tahun Wafatnya Sunan Kudus: 1550 M.
Makam Sunan Kudus: Kudus, Jawa Tengah.
Sejarah Sunan Kudus: Sunan Kudus merupakan cucu dari Sunan Ampel dan istrinya Dewi Condrowati dari anaknya yang bernama Syarifah. Berarti beliau masih dalam saudarnya keponakan Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Nama julukan Sunan Kudus sebenarnya di ambil dari nama tempatnya belajar di Al-Quds.

Semasa hidupnya Ia belajar ilmu agama dari kedua pamannya tersebut dan juga pergi ke Al-Quds,, Yarusssalem, Palestina. Disana beliau mendapat banyak ilmu agama dan ilmu pengetahuan dari berbagai ulama-ulama Arab.

Setelah menimba ilmu disna Beliau kembali ke Nusantara, dan sesampainya di Nusantara Beliau berinisiatif untuk mendirikan pondok pesantren. Disana ia mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam untuk berdakwah mengajak para masyarakat beriman dann bertakwa kepada Allah SWT.

Sunan Kudus memiliki ilmu-ilmu yang sangat luas hasil dari Ia menimba ilmu dari para ulama-uama di Jawa dan Timur Tengah. Karena ilmunya yang luas itu akhirnya Sunan Kudus di minta oleh para masyarakat untuk menjadi pemimpin daerah Kudus.

Akhirnya Beliau pun menyanggupinya, karena menurutnya itu juga menjadi salah satu kesempatan untuk menyebarkan dakwah agama Islam. Apalagi Beliau bisa berdakwah di kalangan para pejabat, priyay dan para bangsawan kerajaan di Jawa.

Karena ilmu Sunan Kudus yang luas itu, akhirnya Beliau mendapat gelar Wali Al-ilmi yang berarti orang yang berilmu. Dalam melakukan dakwah Sunan Kudus juga memakai metode menyisipkan ajaran agama Islam melalui budaya.

7. Sunan Muria

Sunan Muria merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo Sunan Muria merupakan salah satu tokoh walisongo yang terkenal dalam pengajarannya dalam berdakwah tentang agama Islama, ia menggunakan sebuah tembang sinom dan kinanti. Sunan Muria juga mewariskan budaya kenduri yang berarti mendoakan orang yang telah meninggal setelah dikubur.

Dalam kenduri itu ada nelung dinani berarti tiga hari, mitung dinani berarti 7 hari, matangpuluhi berarti 40 hari, nyatusberarti 100 hari, mendak pisan, mendak pindo, nyewu berarti 1000 hari.

Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Muria: Raden Umar Said.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Muria: Kudus dan Pati.
Peninggalan Sunan Muria: Masjid Muria.
Tahun Wafatnya Sunan Muria: 1551 M.
Makam Sunan Muria: Kudus, Jawa Tengah.
Sejarah Sunan Muria: Sunan Muria merupakan anak dari Sunan Kalijaga dan Istrinya Saroh adik kandung dari Sunan Giri. Sunan Muria dalam menyampaikan dakwahnya menggunakan metode menyisipkan Islam melalui budaya dan dan kesenian masyarakat.

Beliau lebih suka dan akrab kepada masyaraka jelata yang jumlahnya paling banyak dan mereka juga mau menerima ilmu pengetahuan baru. Sunan Muria semasa hidupnya mengajarkan ilmu agama, bertani, berkebun, berdagang dan melaut.

8. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo Sunan Gunung Jati salah satu tokoh Walisongo yang terkenal akan pesan wasiatnya yaitu. “Sugih bli rerawat, mlarat bli gegulat”. Yang artinya menjadi bukan untuk menjadi pribadi, menjadi miskin bukan menjadi beban orang lain.

Wali Songo: Abah OparNama Asli Sunan Gunung jati: Syarif Hidayatullah.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati: Cirebon, Banten dan Demak.
Peninggalan Sunan Gunung Jati: Masjid merah Panjunan, Kumangang Pintu dan Kereta untuk berdakwah.
Tahun Wafat Sunan Gunung Jati: 1568 M.
Makam Sunan Gunung Jati: Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat.
Sejarah Sunan Gunung Jati: Sunan Gunung Jati merupakan keturunan bangsawan dari Timur Tengah yang bernama Sultan Syarif Abdullah Maulana. Ayah Sunan Gunung Jati merupakan merupakan keturunan dari Bani Hasyim yang berasal dari Palestina yang menjadi pembesar di Mesir.

Beliau berdakwah di daerah sekitar daerah Cirebon di Jawa Barat. Sehingga Beliau pun membangun sebuah pondok peantren untuk mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat.

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.

Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

9. Sunan Giri

Sunan Giri merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam Sejarah Walisongo Sunan Giri merupakan tokoh walisongo yang terkenal akan penyampaian dakwahnya kepada masyarakat yang ceria. Dalam dakwahnya juga disisipkan dengan hiburan lagu permainan seperti cublak-cublak suweng, jamuran dan lir ilir.

Asal Usul Wali Songo di Nusantara: Abah OparNama Asli Sunan Giri: Muhammad Ainul Yakin.
Daerah Penyebaran Islam Sunan Giri: Gresik, Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Peninggalan Sunan Giri: Tembang Pucung, Tembang Asmarandana, Masjid Giri, Giri Kedaton dan Telogo Pegat.
Tahun Wafat Sunan Giri: 1506 M
Makam Sunan Giri: Cirebon, Jawa Barat.
Sejarah Sunan Giri: Dalam sejarah, Sunan Giri merupakan anak keturunan dari ulama Islam yang sedang berdakwah di daerah Pasai, Malaka. Tetapi karena di saat itu terjadi konflik, akhirnya ayah Sunan Giri tersebut menitipkan Sunan Giri kepada nelayan agar dibawa ke Jawa.
Sunan Giri pun akhirnya di titipkan kepada nelayan tersebut demi keamanannya. Di saat itu nelayan itu membawa kapalnya melewati Samudra Hindia da menepi di Selat Bali. Sesampai di sana Sunan Giri di angkat anak oleh Dewi Sekardadu yang merupakan putri kerajaan Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur.

Di sana Sunan Giri di besarkan dan dirawat, serta di sana Ia mendapatkan nama Raden Paku. Kemudian Sunan Giri mulai tumbuh dewasa, dan Dewi Sekardadu pun menceritakan masa lalu dan memberitahukan siapa orang tua sebenarnya.

Setelah itu Sunan Giri berfikir dan memutuskan untuk kembali ke Pasai, Malaka untuk berguru tentang agama kepada ayahnya. Tetapi sebelum kembalinya Sunan Giri ke Pasai, Beliau menyempatkan diri untuk belajar agama Islam kepada Sunan Ampel.

Setelah selesai belajar bersama Sunan Ampel ia pergi ke Pasai untuk belajar ilmu Agama kepada ayahnya. Ketika ayahnya sudah meninggal, Beliau menggantikan ayahnya untuk berdakwah. Setelah lama berada di Pasai, Malaka akhirnya Sunan Giri kembali ke Blambangan untuk berdakwah.

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Asal Usul Wali Songo di Nusantara: Abah Opar


Demikian sekelumit sejarah dari nama-nama Sunan Walisongo yang penulis himpun dari berbagai sumber.  Semoga bahasan tentang 9 Sunan Walisongo ini menjadi knowledge yang bisa memberi kita hikmah dan hidayah sehingga berguna untuk kita semua. Posted by: Opar Suparma, S.Pd. M.Si

Baca juga : Tafsir Materialistik Terhadap Supranatural serta bagaimana pendapat para Ulama terhadap hal tersebut yaitu adakah hubungan antara Tafsir Spiritual dari peristiwa Supranatural dan  




Daftar Pustaka:
Hasanu Simon, 2004, Peranan Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa Dalam Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.

Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.

Widji Saksono, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.

Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009)
 http://www.muslimdaily.net

Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.

Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta:      Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.

Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Pageviews Artcle

Rekomendasi Unuk Anda Baca

9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah

Education and Knowledge Update   Apa Saja Yang Termasuk 9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah itu ? Sahabatku beriku...

Comments
Comments